Thursday, March 5, 2009

Belajar mencintai seseorang yang x sempurna dgn cara yang sempurna

Ketika kita bertemu orang yang tepat untuk dicintai, ketika kita berada di tempat pada saat yang tepat, itulah kesempatan.

Ketika kita bertemu dengan seseorang yang membuatmu tertarik, itu bukan pilihan, itulah kesempatan.

Bertemu dalam suatu peristiwa bukanlah pilihan, itupun adalah kesempatan.

Bila kita memutuskan untuk mencintai orang tersebut, malah dengan segala kekurangannya, itu bukan kesempatan, itu adalah pilihan.

Ketika kita memilih bersama dengan seseorang walaupun apapun yang terjadi, itu adalah pilihan.

Malah ketika kita menyedari bahawa masih banyak orang lain yang lebih menarik, lebih pandai, lebih kaya daripada pasanganmu dan tetap memilih untuk mencintainya, itulah pilihan.

Perasaan cinta, simpati, tertarik, datang bagai kesempatan pada kita.
Tetapi cinta sejati yang abadi adalah pilihan.
Pilihan yang kita lakukan.

Berbicara tentang pasangan jiwa, ada suatu petikan dari filem yang mungkin sangat tepat : "Nasib membawa kita bersama, tetapi tetap bergantung pada kita bagaimana membuat semuanya berhasil"

Pasangan jiwa bisa benar-benar ada.
Malah sangat mungkin ada seseorang yang diciptakan hanya untukmu.
Tetapi tetap kembali padamu.

Untuk melakukan pilihan apakah engkau ingin melakukan sesuatu untuk mendapatkannya, atau tidak...

Kita mungkin kebetulan bertemu pasangan jiwa kita tetapi mencintai dan tetap bersama pasangan jiwa kita adalah pilihan yang harus kita lakukan.

Kita ada di dunia bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai tetapi untuk belajar mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna.

cinta kepada manusia yg melebihi cinta kpd yg hakiki tidak akan menemui kebahagiaan....maka cr lah cinta yg hakiki sblm mencintai cinta dunia.

Wednesday, March 4, 2009

SGDP Away Day

Bismillahirrahmanirrahim....

lame kot rasenya tak update psl diri sdiri in my own blog. Dok buat artikel je kan...itu pun atas request member2 jugak...thanks for all my friends who are very supportive since i started memblogging. huhu...

recently, on 23 February 2009, we had done the Skill Group Dev. Program away day which held at Corus Hotel for the whole day...perrghh...luckily dpt gak kuar dr twin tower tu. Kalau x, away day pun nak wat kat meeting room je...adoi...boley crem otak...uhuhuhu....antara lain that we discussed were enhancement on the material, content, etc for L1,L2 and L3 and also propose newcomers to be part of trainers and resource person team member for tax. Alhamdulillah, first and foremost i would like to thank Allah for HIS bless to me all this while esp this year. I've been cherish with his love and bless to his devotee. Alhamdulillah, Subhanallah! So many positive things happening around me in 2009 eventhough i realize that this year would be very challenging, not only for me, but for all human being as this year we are facing the most worse world economic crisis, war crime esp in Palestine as well as instability of political situation esp in Malaysia. even we in Malaysia is yet to feel the difficulties of the economic crisis, but we are actually in the middle of the crisis already. The most simple example is household and groceries prices. Naik jugak w'pun commodity price drop. But that's the fact of it and we have to get ready from now on.

Ok, back to SGDP away day, as that was the first time i attended such program, i learnt a lot from the discussion and how the trainers, the ccordinators and the ppl involve are brainstorming their ideas in order to come out with the best material for skill group training. That is one of the things that i impress so much in Petronas whereby when u talk bout staff development, there are plenty of opportunities for them to develop and improve their skills in their respective area. That is why Petronas is been recognize as one of the company which spend huge amount on their staff development in order to develop "modal insan" and become expert in their area. This is at the same time will produce lot of experts for local and international operations and benefit country as well. Tak bangga ke anak tempatan jadi famous seantero dunia because of their expertise? Of course i am proud of it!

Even i just be a new comer and only a resource person, but i believe that there are lot of opportunities awaiting in front of me because tax would definitely have lot of areas to improve and enhance in Petronas. Maybe in 1 or 2 years time i'll get an opportunity to become a trainer, who know's right? That is why i become fall in love with Tax! Huhu...probably most of ppl feel that tax is boring because its bind with law. Macam legal la..but i do love fact and history. plus tax every year berubah based on changes of either the countries' regulation, budget release or changes of policy by other countries and that's why you have to be fast learner and always update with the current policy and regulation because it would definitely have tax implication. Maybe that's why tax is not favorable kot.hahaha...but i don't mind, it's hard to find ppl that really show their passion in tax, but i do start to deeply in love with tax and i'll learn from time to time to master it...huhuhu...Insyaallah...Ameen...

Basically, as a conclusion, aku sgt berpuas hati dgn pendedahan sebegini and i'm looking forward to be part of the team members. actually aku dh pun in team because i was assisting as well during last skill group training and i am happy because we got feedback that the theme that we created for the training was interesting. Yeah, credit should be given to my senior, Kak Sheeda for brought in the first idea! Looking forward for more interesting crowd, theme and training as well!!!

Ibu Mithali - Bukan hanya terbukti atas kejayaan anak-anak

For those yang bergelar ibu dan anak yg masih mempunyai ibu..Kasih dan sayang ibu sentiasa berkekalan..

IBU MISALI

OLEH NORHASHIMAH HASHIM


PENERIMA ketiga berjalan perlahan-lahan turun dari pentas. Di lehernya, telah terkalung pingat "Ibu Misali". Tangan kanannya menggenggam erat satu sampul dan segulung sijil. Tangan kirinya pula memegang beberapa hadiah iringan. Anaknya setia melangkah di sisi.

"Sekarang ...," suara pengacara majlis bergema kembali, "Tibalah kita kepada penerima anugerah "Ibu Misali" yang terakhir. Penerima ini agak lain daripada yang lain dan sungguh istimewa. Untuk itu, dipersilakan Puan Afifah Rashid naik ke pentas bersama- sama Cik Nurul Humairah, untuk tampil memperkenalkan ibunya. Dipersilakan. "

Mataku tercari-cari pasangan ibu dan anak yang bakal mengambil tempat itu. Di barisan penonton paling hadapan, aku dapati seorang anak gadis berkulit hitam manis dan bertubuh tinggi lampai, sedang berusaha memujuk seorang wanita dalam lingkungan usia 60-an untuk bangun.

Aneh, kenapa ibu yang seorang ini nampaknya begitu keberatan untuk naik ke pentas? Kenapa dia tidak seperti tiga orang penerima sebelumnya, yang kelihatan begitu bangga menapak naik ke pentas, sebaik sahaja mereka dijemput?

Hampir lima minit kemudian, barulah tampak si anak gadis yang memakai sepasang kebarung bertanah ungu dan berbunga merah jambu serta bertudung ungu kosong, bersusah payah memimpin ibunya naik ke pentas.

Ibu itu pun menduduki kerusi yang telah diduduki oleh tiga orang penerima sebelumnya. Anak gadis itu kemudiannya beredar ke pembesar suara. Dia beralih pandang kepada ibunya yang hanya tunduk memerhati lantai pentas.

'Pelik sungguh ibu yang seorang ini. Lagaknya bukan lagak orang yang akan menerima anugerah. Dia tak ubah seperti seorang pesalah yang sedang menanti hukuman. Duduknya serba tak kena. Sekejap beralih ke kanan, sekejap berpusing ke kiri. Tangannya menggentel-gentel baju kurung biru muda yang dipakainya.'

Dehem si anak dalam pembesar suara membuat aku sedikit tersentak.
Tumpuanku yang sekian lama terhala ke pentas, aku alihkan pada buku notaku. Aku menconteng-conteng helaian yang masih putih bersih itu untuk memastikan penku dalam keadaan yang baik. Kemudian, aku memeriksa kameraku. Filemnya masih ada. Baterinya masih dapat bertahan.

Sempat juga aku mengerling rakan-rakan wartawan dari syarikat akhbar dan majalah lain yang duduk di kiri kananku. Nampaknya, pen sudah berada dalam tangan masing-masing. Mata mereka sudah terarah kepada ibu di atas pentas dan anak yang sudah pun memulakan bicaranya dengan bismillah dan, memberi salam.

Aku tersenyum dan mengangguk kepada rakan- rakan wartawan yang duduk semeja denganku. Tetapi, senyuman dan anggukanku sudah tidak sempat mereka balas. Aku lantas mengemaskan dudukku mencari posisi yang paling selesa.

"Pertama sekali, saya ingin memanjatkan rasa syukur ke hadrat Allah, kerana dengan izin-Nyalah saya dan, mak berada dalam majlis yang gilang-gemilang ini. Seterusnya, saya ingin merakamkan penghargaan saya kepada pihak penganjur yang telah mempertimbangkan mak saya sebagai, salah seorang penerima anugerah "Ibu Misali" tahun ini."


Suasana menjadi sunyi. Hadirin memberi tumpuan sepenuhnya kepada percakapan gadis itu.

"Sebetulnya, ketika saya kecil, saya memang membenci mak. Darjah kebencian itu meningkat setelah saya mendapat tahu Puan Afifah hanyalah mak angkat saya. Pada masa yang sama, saya merasakan sayalah anak yang paling malang, disisihkan oleh ibu sendiri, dan diperhambakan pula oleh mak angkat untuk membantu menjaga anak-anak kandungnya"


"Membantu menjaga anak- anak kandungnya? Mungkin, persoalan itu sedang pergi balik dalam benak tuan-tuan dan puan-puan sekarang. Persoalan itu pasti akan terjawab sebentar lagi, apakala saya mempertontonkan rakaman video yang memaparkan kehidupan anakanak kandung mak. Sebelum itu, saya harus menegaskan bahawa anak-anak yang bakal hadirin lihat nanti bukan terdiri daripada doktor, peguam, jurutera, pensyarah, ahli perniagaan, pemimpin masyarakat, dan guru, seperti mana anak ketiga-tiga "Ibu Misali" yang baru menerima anugerah sebentar tadi."
Suara hadirin yang kehairanan mula kedengaran.

"Inilah dia abang-abang dan kakak- kakak saya!" suara hadirin semakin kedengaran. Mereka tidak dapat membendung rasa kekaguman.

"Yang mengeluarkan berbagai-bagai bunyi itu, Abang Long. Yang sedang merangkak ke sana ke mari itu, ialah Kak Ngah. Yang sedang mengesot ke ruang tamu itu, ialah Abang Alang. Yang sedang berjalan sambil berpaut pada dinding itu, ialah Kak Anjang. Yang sedang berjalan jatuh dari dapur ke dalam bilik itu, ialah Abang Andak."

"Seperti yang tuan-tuan dan puan-puan saksikan, tahap kecacatan fizikal dan mental abangabang dan, kakak-kakak saya tidak sama. Daripada yang tidak boleh bercakap dan bergerak langsung, seperti bayi yang baru lahir hinggalah kepada yang boleh berjalan jatuh dan, bercakap pelat-pelat, seperti budak berumur satu atau, dua tahun."
Hadirin yang sebentar tadi bingit suaranya kini terdiam kembali. Mereka menonton video yang sedang ditayangkan itu dengan khusyuknya.

"Untuk pengetahuan semua, abang-abang dan kakak-kakak saya, telah menjangkau usia 20-an dan, 30-an. Namun, meskipun telah dilatih dengan sungguh-sungguh, mereka masih belum pandai mengurus makan minum dan berak kencing mereka sendiri. Lihatlah betapa sukarnya mak hendak melayan makan dan, pakai mereka."
"Sewaktu saya berusia enam atau, tujuh tahun, saya sering mencemburui abang-abang, dan kakak-kakak kerana mereka, mendapat perhatian istimewa daripada mak. Saya iri hati melihat mak memandikan mereka. Saya sakit hati melihat mak menyuap mereka. Sedang saya disuruh buat semua itu sendiri."

"Mirah dah besar, kan? Mirah dah boleh uruskan diri Mirah sendiri, kan?" Lembut nada suara mak tiap kali dia memujuk saya. Namun, kelembutan itu telah menyemarakkan api radang saya

"Tapi, mak tak adil!" Saya kerap membentak. "Mak buat segalagalanya untuk kakak- kakak dan abang- abang. Kalau untuk Mirah, mak selalu berkira!"

"Mirah, abang-abang dan kakak-kakak Mirah tidak secerdas Mirah. Mereka cacat!" Berkali-kali mak menegaskan kepada saya. "Sebab itulah mak terpaksa membantu mereka."


"Mereka cacat apa, mak?" Saya membeliakkan mata kepada mak. "Semua anggota mereka cukup. Kaki dan tangan mereka tidak kudung. Mata mereka tidak buta. Yang betulnya, mereka malas, mak!"

"Mirah ... Mirah belum faham, sayang." Suara mak akan menjadi sayu tiap kali dia mempertahankan kakak-kakak dan abang-abang saya. Tetapi, kesayuan itu tidak pernah mengundang rasa simpati saya.

"Apabila difikirkan kembali, saya merasakan tindakan saya itu terlalu bodoh. Abang-abang dan kakak-kakak tak pernah kacau saya. Mak pun cuma sekali-sekala saja meminta bantuan saya menyuapkan mereka makan atau menukar kain lampin mereka. Itu pun saya tidak pernah ikhlas menolong.
Saya akan merungut tidak henti-henti sepanjang masa saya melakukan itu. Jika makanan yang saya suap tumpah atau jika abang-abang dan kakak-kakak terkencing atas tangan saya, ketika saya sedang menyalin kain lampin mereka, tangan saya ringan saja mencubit atau menampar mereka. Saya tahu mereka tidak pandai mengadu perbuatan jahat saya kepada mak. Ketika itu, memang saya langsung tidak punya rasa hormat kepada abang-abang dan kakak-kakak. Kepada saya, kehadiran mereka menyusahkan hidup saya."

"Hantarlah abang-abang dan kakak-kakak ke rumah kebajikan, mak." Saya pernah mengusulkan kepada mak, ketika saya berusia sepuluh tahun.
"Lepas itu, mak dan ayah boleh hidup senang-lenang macam mak dan ayah orang lain. Mirah pun takkan rasa terganggu lagi."

"Mereka anak-anak mak, Mirah. Jadi, maklah yang patut jaga mereka, bukan petugas-petugas di rumah kebajikan." Begitu reaksi mak setiap kali saya mencadangkan hal itu.

"Saya langsung tidak menghormati, apatah lagi mengagumi pendirian mak.
Mak memang sengaja menempah masalah. Mak tidak menghargai jalan keluar yang telah sedia terentang di hadapannya."

"Rasa geram dan marah saya sampai ke puncaknya, semasa saya berusia dua belas tahun. Pada hari itu, mak demam teruk hingga tidak dapat bangun. Ayah terpaksa ambil cuti untuk membawa mak ke klinik. Lalu, saya ditinggalkan untuk menjaga abang-abang dan kakak-kakak di rumah.
Sebelum meninggalkan rumah, biarpun dalam keadaan yang lemah, berkali-kali mak sempat berpesan kepada saya, agar jangan lupa memberi abang-abang dan kakak-kakak makan, dan menukar kain lampin mereka."
Suasana dewan terus sunyi. Hadirin masih khusyuk mendengar cerita gadis itu.

"Itulah kali pertama saya ditinggalkan bersama-sama abang-abang dan kakak-kakak, selama lebih kurang lima jam. Jangka masa itu cukup menyeksakan. Kebetulan pada hari itu, abang-abang dan kakak-kakak benar-benar mencabar kesabaran saya. Entah mengapa Abang Long enggan makan. Jenuh saya mendesaknya. Abang Alang dan Kak Ngah pula asyik mencirit saja. Letih saya menukar kain lampin mereka. Abang Andak pula, asyik main air ketika saya memandikannya. Basah lencun baju saya dibuatnya. Kak Anjang pula, asyik sepahkan nasi dan tumpahkan air.
Penat saya membersihkannya. "


"Apabila mak dan ayah pulang, saya sudah seperti kain buruk, tubuh saya lunyai. Saya sudah tidak berupaya melihat muka mak dan ayah. Saya terus melarikan diri ke rumah ibu kandung saya, yang terletak di sebelah rumah mak. Begitulah lazimnya. Apabila fikiran saya terlalu kacau, saya akan ke rumah ibu untuk mencari ketenangan."

"Ibu!" Saya menerpa masuk lalu memeluk ibu. "Kenapa ibu bagi Mirah kepada mak? Kalau ya pun ibu tidak suka Mirah, bagilah Mirah pada orang lain yang lebih menyayangi Mirah, bukan mak."

"Mirah!" Ibu merangkul saya. "Kan dah berkali-kali ibu tegaskan yang ibu bagi Mirah kepada mak bukan kerana ibu tak sayang Mirah."

"Lazimnya ibu akan membuka kembali lipatan sejarah hidupnya apabila situasi itu berlaku. Ibu ialah kakak mak. Ibu sakit teruk setelah melahirkan saya. Selama berbulan-bulan ibu terlantar di hospital, mak yang telah menjaga saya. Setelah ibu sembuh, ibu dapat lihat sendiri betapa gembiranya mak dapat menjaga seorang anak normal.

Justeru, ibu tidak sampai hati hendak memisahkan kami."

"Ibu telah berasa betapa nikmatnya menjaga tujuh orang anak yang pintar dan cerdas. Jadi, biarlah nikmat itu turut dirasakan oleh mak pula dengan menjaga Mirah. Lagipun, dengan menyerahkan Mirah kepada mak, ibu masih dapat melihat Mirah membesar di hadapan mata ibu, walaupun Mirah tinggal bersama-sama mak. Dari pemerhatian ibu, ibu rasa, mak lebih menyayangi Mirah berbanding dengan anak anaknya yang lain."

"Sayang apa? Ibu tahu tak yang rumah tu macam neraka bagi Mirah? Ibu tahu tak yang Mirah ni tak ubah seperti hamba di rumah tu?"

"Jangan besar-besarkan perkara yang kecil, Mirah. Ibu tahu sekali-sekala saja mak membebankan Mirah dengan kerja-kerja rumah dan tugas menjaga abang-abang dan kakak-kakak Mirah. Itu pun Mirah buat tidak sesungguh hati. Nasi mentahlah, lauk hanguslah, abang-abang, dan kakak-kakak kena lempanglah."

"Mak adu semua kepada ibu, Ya?" Saya masih mahu berkeras meskipun saya tahu saya bersalah.

"Mak jarang-jarang mengadu keburukan Mirah kepada ibu. Ibu sendiri yang kerap mengintai Mirah dan melihat bagaimana Mirah melaksanakan suruhan mak."

"Saya tunduk. Saya sudah tidak sanggup menentang mata ibu."

"Ibu malu, Mirah. Ibu mengharapkan kehadiran Mirah di rumah mak kau itu dapat meringankan penderitaan mak.

Tetapi, ternyata kehadiran Mirah di rumah itu menambahkan beban mak."

"Saya benar-benar rasa terpukul oleh kata-kata ibu."

"Ibu rasa, apa yang telah mak beri kepada Mirah, jauh lebih baik daripada apa yang diberi kepada anak-anaknya sendiri. Mirah dapat ke sekolah. Kakak-kakak dan abang-abang Mirah hanya duduk di rumah. Mirah dapat banyak pakaian cantik. Sedang anak-anak mak yang lain pakaiannya itu-itulah juga. Setiap kali Mirah berjaya dalam peperiksaan, mak sungguh gembira. Dia akan meminta ibu tolong menjaga abang-abang dan kakak-kakak kerana dia nak lihat Mirah terima hadiah."

"Saya tidak sanggup mendengar kata-kata ibu selanjutnya, bukan kerana saya tidak mengakui kesalahan saya, tetapi kerana saya benar-benar malu."

"Saya meninggalkan rumah ibu bukan kerana berasa tersisih daripada ibu kandung sendiri, atau berasa kecewa sebab tidak mendapat pembelaan yang diharap- harapkan. Saya meninggalkan rumah ibu dengan kesedaran baru." "Sesampainya saya ke rumah tempat saya berteduh selama ini,saya dapati mak yang belum sembuh betul sedang melayan kerenah abang-abang dan kakak-kakak dengan penuh sabar. Saya terus menghilangkan diri ke dalam bilik kerana saya dihantui oleh rasa bersalah. Di dalam bilik, saya terus resah-gelisah. "

"Mirah," panggilan lembut mak seiring dengan bunyi ketukan di pintu bilik saya. "Mirah."

"Saya cepat-cepat naik ke atas katil dan memejam mata, pura-pura tidur."

"Sejurus kemudian, terdengar bunyi pintu bilik saya dibuka. "Mirah dah tidur rupa-rupanya! Kesian. Tentu Mirah letih menjaga abang-abang dan kakak- kakak semasa mak, ke klinik siang tadi. Maafkan mak, sayang. Mak tahu Mirah masih terlalu muda untuk memikul beban seberat itu. Tapi, keadaan benar- benar terdesak pagi tadi, Mirah. Mak janji, lain kali mak tak akan kacau Mirah lagi. Mak akan meminta ibu atau orang lain menjaga abang- abang dan kakak-kakak kalau mak terpaksa tinggalkan rumah"

Sepanjang mak berkata-kata itu, tangan mak terus mengusap-usap dahi saya. Suara mak tersekat-sekat. Saya terlalu ingin membuka mata dan menatap wajah mak ketika itu.

"Mirah, mak tahu Mirah tak bahagia tinggal bersama-sama mak."

Suatu titisan air mata gugur di atas dahi saya. Kemudian, setitik lagi gugur di atas pipi saya. Selepas itu, titisan-titisan itu kian rancak gugur menimpa serata muka dan leher saya.

"Walau apa pun tanggapan Mirah kepada mak, bagi mak, Mirah adalah segala-galanya. Mirah telah menceriakan suasana dalam rumah ini. Mirah telah menyebabkan mak berasakan hidup ini kembali berharga. Mirah telah. ..."

"Mak!" Saya lantas bangun lalu memeluk mak. Kemudian, tiada kata-kata yang lahir antara kami. Yang kedengaran hanyalah bunyi sedu-sedan dan esak tangis.


Peristiwa pada hari itu dan, pada malamnya telah mengubah pandangan saya terhadap mak, abang-abang dan kakak-kakak. Saya mula merenung dan menilai keringat mak. Saya mula dapat menerima keadaan kakak- kakak dan abang- abang serta belajar menghormati dan, menyayangi mereka.

Keadaan dewan menjadi begitu sunyi seperti tidak berpenghuni sejak gadis itu berbicara.

Setelah meraih kejayaan cemerlang dalam peperiksaan penilaian darjah lima, saya telah ditawarkan untuk melanjutkan pelajaran ke peringkat menengah, di sebuah sekolah berasrama penuh. Saya telah menolak tawaran tersebut.

"Kenapa Mirah tolak tawaran itu?"

"Bukankah di sekolah berasrama penuh itu Mirah boleh belajar dengan sempurna?"

"Betul tu, Mirah. Di sana nanti Mirah tak akan berdepan dengan gangguan daripada abang-abang dan kakak-kakak! "

"Mirah tak menyesal ke, kemudian hari nanti?"

Bertubi-tubi mak dan ayah menyoal. Mata mereka tidak berkelip-kelip memandang saya.

"Mak, ayah." Saya menatap wajah kedua-dua insan itu silih berganti.
"Mirah ingin terus tinggal di rumah ini. Mirah ingin terus berdamping dengan mak, ayah, abang-abang dan kakak-kakak. "

"Tapi, boleh ke Mirah buat ulang kaji di rumah? Pelajaran di sekolah menengah itu, bukannya senang." Mak masih meragui keupayaan saya.

"Insya-Allah, mak. Mirah rasa, Mirah dapat mengekalkan prestasi Mirah semasa di sekolah menengah nanti," balas saya penuh yakin.

Mak dan ayah kehabisan kata-kata. Mulut mereka terlopong. Mata mereka terus memanah muka saya. Garis-garis kesangsian masih terpamer pada wajah mereka. Sikap mak dan ayah itu telah menguatkan azam saya untuk terus menjadi pelajar cemerlang, di samping menjadi anak dan adik yang baik.

Selama di sekolah menengah, mak sedapat mungkin cuba membebaskan saya daripada kerjakerja memasak dan mengemas rumah, serta tugas menjaga makan pakai abang-abang dan kakak-kakak kerana takut pelajaran saya terganggu. Sebaliknya saya lebih kerap menawarkan diri untuk membantu, lantaran didorong oleh rasa tanggungjawab dan timbang rasa.

Gadis yang bernama Nurul Humairah itu terus bercerita dengan penuh semangat, apabila melihatkan hadirin di dalam dewan itu mendengar ceritanya dengan penuh minat.

"Saya terpaksa juga meninggalkan rumah sewaktu saya melanjutkan pelajaran di Universiti Kebangsaan Malaysia. Di sana saya membuat pengkhususan dalam bidang pendidikan khas. Bidang ini sengaja saya pilih kerana saya ingin menabur bakti kepada segelintir pelajar yang kurang bernasib baik. Di samping itu, pengetahuan yang telah saya peroleh itu, dapat saya manfaatkan bersama untuk abang-abang dan kakak-kakak. "

"Kini, telah setahun lebih saya mengharung suka duka, sebagai seorang guru pendidikan khas di kampung saya sendiri. Saya harus akui,segulung ijazah yang telah saya miliki tidak seberapa nilainya, berbanding dengan mutiara-mutiara pengalaman yang telah mak kutip sepanjang hayatnya."

"Sekarang, saya lebih ikhlas dan lebih bersedia untuk menjaga abang-abang dan kakak-kakak. Pun begitu, hati ini sering tersentuh apabila beberapa kali saya terdengar perbualan mak dan Ayah."

"Apa akan jadi kepada kelima-lima orang anak kita itu lepas kita tak ada, bang?" suara mak diamuk pilu.

Ayah akan mengeluh, kemudian berkata, "Entahlah. Takkan kita nak harapkan Mirah pula?"

"Mirah bukan anak kandung kita." Mak meningkah. "Kita tak boleh salahkan dia kalau dia abaikan abang-abang dan kakak-kakaknya."

"Mirah nak tegaskan di sini, mak, yang Mirah akan membela nasib abang-abang dan, kakak-kakak lepas mak dan ayah tak ada. Ya, memang mereka bukan saudara kandung Mirah. Tapi, tangan yang telah membelai tubuh Mirah dan tubuh mereka adalah tangan yang sama. Tangan yang telah menyuapkan Mirah dan mereka, juga tangan yang sama. Tangan yang memandikan Mirah dan mereka, adalah tangan yang sama, tangan mak."

Kelihatan gadis yang berkebarung ungu, berbunga merah jambu itu, tunduk sambil mengesat air matanya dengan sapu tangannya. Kebanyakan hadirin, khususnya wanita turut mengesat air mata mereka.

Gadis itu menyambung bicaranya. Tiga bulan lalu, saya terbaca mengenai pencalonan anugerah "Ibu Misali" dalam akhbar. Saya terus mencalonkan mak, di luar pengetahuannya. Saya pasti, kalau mak tahu, dia tidak akan merelakannya. Saya sendiri tidak yakin yang mak akan terpilih untuk menerima anugerah ini, sebab anak- anak mak bukan terdiri daripada orang-orang yang disanjung masyarakat, seperti lazimnya anak- anak "Ibu Misali" yang lain.

"Lorong dan denai kehidupan yang orang-orang seperti mak lalui mempunyai banyak duri dan, ranjau berbanding dengan ibu-ibu lain. Betapa keimanan mak tidak tergugat biarpun berdepan dengan dugaan yang sebegini hebat. Tiada rasa kesal. Tiada rasa putus asa. Tidak ada salah-menyalahkan antara mak dan ayah."

"Maafkan Mirah sekali lagi, mak. Hingga ke saat- saat terakhir tadi, mak masih tidak menyenangi tindakan Mirah mencalonkan mak, untuk menerima anugerah ini. Mak merasakan diri mak terlalu kerdil lebih-lebih lagi setelah mak mendengar pengisahan "Ibu Misali" pertama, kedua dan ketiga. Berkali-kali mak tegaskan yang mak menjaga anak-anak mak bukan kerana mahukan anugerah ini, tapi kerana anak-anak adalah amanah Tuhan."

"Saya ingin jelaskan di sini bahawa saya mencalonkan mak untuk anugerah ini, bukan dengan tujuan merayu simpati. Saya cuma berharap kegigihan dan ketabahan mak akan dapat direnung oleh ibu-ibu lain, terutama ibu-ibu muda yang senang-senang mendera dan mencampakkan anak mereka yang cornel, segar-bugar serta sempurna fizikal dan, mental."

"Sebagai pengakhir bicara, sekali lagi saya ingin merakam penghargaan saya kepada pihak penganjur, kerana telah mempertimbangkan mak saya sebagai salah seorang penerima anugerah "Ibu Misali" tahun ini. Semoga pemilihan mak ini akan memberi semangat baru kepada ibu-ibu lain yang senasib dengan mak."

"Sekian, wassalamualaikum warahmatullah. "

Gadis itu beredar meninggalkan pembesar suara.

Penku telah lama terbaring. Buku notaku telah lunyai dek air mataku sendiri. Bahuku dienjut-enjut oleh sedu- sedanku. Pandanganku menjadi kabur. Dalam pandangan yang kabur-kabur itu, mataku silau oleh pancaran cahaya kamera rakan semejaku. Aku segera mengangkat kameraku dan menangkap gambar secara rambang tanpa mengetahui sudut mana atau, apa sebenarnya yang telah menarik perhatian wartawan-wartanan lain.

'Bertenang. Kau di sini sebagai pemberita. Kau seharusnya berusaha mendapat skop yang baik, bukan dihanyutkan oleh perasaan kau sendiri.'
Terdengar pesanan satu suara dari dalam diriku.

Lantas, aku mengesat air mataku. Aku menyelak buku notaku mencari helaian yang masih belum disentuh oleh air mataku. Aku capai penku semula.

"Demikianlah kisah pelayaran seorang ibu di samudera kehidupan yang tidak sunyi dari ombak dan badai. Sekarang, dijemput Yang Berbahagia Puan Sri Salwa Najwa dengan diiringi oleh Pengerusi Jawatankuasa Pemilihan "Ibu Misali" untuk menyampaikan anugerah "Ibu Misali" serta beberapa hadiah iringan kepada Puan Afifah Rashid. Yang Berbahagia Puan Sri dipersilakan."

Nurul Humairah membantu maknya bangun. Kemudian, dia memimpin maknya melangkah ke arah Yang Berbahagia Puan Sri Salwa Najwa. Lutut maknya menggeletar. Namun begitu kerana dia tidak berdaya menahan perasaannya dia terduduk kembali di atas kerusi.

Melihatkan itu, Yang Berbahagia Puan Sri Salwa Najwa sendiri datang mendapatkan Puan Afifah, lalu mengalungkan pingat itu. Setelah itu, beliau menyampaikan beberapa hadiah iringan. Air mata Puan Afifah berladung.

Tepukan gemuruh bergema dari segenap penjuru dewan. Sejurus kemudian, seorang demi seorang penerima anugerah "Ibu Misali" sebelumnya, naik ke pentas bersalaman dan berpelukan dengan Puan Afifah. Bertambah lebatlah hujan air mata penerima anugerah "Ibu Misali" yang terakhir itu.
 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space